Minggu, 21 Maret 2010


Murid-murid senior di SMA sedang menghadapi UN. Jauh-jauh hari sebelumnya, gaung UN sudah mulai terdengar bagaikan genderang perang yang ditabuh bertalu-talu membuat yang mendengar memberi respon yang beraneka; ada yang ketakutan, ada yang gelisah, ada yang bingung, dan tidak sedikit pula yang stres. Kadang saya bertanya di dalam hati, “apakah mengahadapi UN itu berarti perang sehingga membuat panik? Apakah UN itu sebegitu mengerikan?Ataukah suara genderang itu sendiri yang menciptakan rasa ngeri yang berlebihan?”

Stres tidak hanya dialami oleh siswa-siswi kelas XII tetapi orang tua, guru, kepala sekolah, diknas semuanya tegang. Mereka seperti menunggu saat-saat penentuan antara hidup atau mati. Banyak orang tua yang sakit lambungnya kumat, hipertensi, sariawan, dan sebagainya karena mengalami ketegangan yang sangat berlebihan. Hal ini membuat aku berfikir dalam hati, mengapa situasi tidak nyaman ini terjadi sedangkan semua itu adalah proses biasa dimana anak masuk sekolah - belajar – ulangan – naik kelas – belajar – ujian. Tetapi kita manusia ini memang seringkali mempersulit yang mudah sehingga menjadi rumit, membesar-besarkan hal kecil sehingga menjadi heboh. Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa UN adalah hal kecil karena aku sadar bahwa banyak energi pikiran dan tenaga yang dikeluarkan untuk UN ini, besar (lebih tepat lagi luar biasa besar) dana yang dikeluarkan untuk pelaksanaan UN ini. Namun disadari atau tidak, gaung UN itu telah berkonstribusi terhadap ketegangan yang terjadi. Anak menjadi korban karena mendapat desakan dari mana-mana, sekolah, orang tua, target universitas idaman, teman, lingkungan, dsb. Mengapa gaung itu tidak terdengar untuk proses belajar anak? Sudahkah proses belajarnya benar? Sudahkah guru mengajar dengan benar? Sudahkah orang tua memberikan perhatian yang optimal terhadap proses belajar anak saat di rumah? Sudahkah lingkungan menciptakan suasana yang kondusif untuk anak bisa belajar dengan tenang dan nyaman? Mengapa kita jadikan anak-anak sebagai pemuas obsesi? Kalau prosesnya benar, mengapa kita harus takut akan ujian?

IPA adalah jurusan yang diagung-agungkan karena prestasi pada mata pelajaran IPA dan Matematika merupakan indikator kecerdasan seorang anak. Banyak orang tua yang protes karena anaknya tidak masuk jurusan IPA dan menganggap bahwa IPS adalah jurusan bagi anak-anak yang tidak cerdas. Dari manakah sumber teori itu? Mungkin betul kata orang bijak bahwa banyak manusia yang dapat melihat tetapi mereka buta. Sudah jelas nilai anak tidak menunjukkan bahwa ia mampu di IPA tetapi tetap dipaksa masuk IPA karena ingin menjadi seorang dokter atau alasan klise lainnya. Mengapa harus memaksa diri? Kalau kita lihat apa yang terjadi di luar sana, banyak anak-anak yang lulus dari jurusan IPA kuliah di jurusan non IPA bahkan banyak mereka yang lulus dari jurusan IPA atau exact malah bekerja di bidang non IPA yang tidak ada hubungan sama sekali dengan jurusan kesarjanaannya. Mengapa kita tidak pernah belajar dari pengalaman - pengalaman nyata itu dan mengapa kita harus membutakan mata kita hanya untuk suatu obsesi dan gengsi.

Ach….tapi itulah yang terjadi, mau bagaimana lagi. Aku hanya seorang guru yang merupakan satu bagian dari mata rantai itu, bagian yang paling mudah dipersalahkan atas ketidakberhasilan seorang anak didik dan yang tidak pernah dikait-kaitkan dengan keberhasilan seorang anak. Padahal kalau kita ingin jujur, kita semua tau bahwa gagalnya seorang anak itu adalah akibat dari kegagalan banyak pihak; bisa guru, orang tua, sekolah, lingkungan, sistem, dan banyak faktor-faktor lain yang baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan konstribusinya.

Anyway… Selamat berjuang anak-anakku. Lakukanlah yang terbaik untuk masa depanmu dan masa depan bangsa ini karena kalian adalah tumpuan harapan kami di masa yang akan datang.