Jumat, 31 Desember 2010

Napak Tilas

Awal Desember 2010 Alhamdulillah ........ aku mendapat kesempatan untuk menginjakkan kaki kembali di Melbourne setelah  meninggalkannya 6 tahun yg lalu. Sungguh terasa menyenangkan, semua kenangan bagaikan slide show yg satu persatu bergerak di depan mata. Ku telusuri jalan yang dahulu selalu aku lewati .... tidak banyak yang berubah....masih seperti yang dulu.... masih nyaman dan penuh dengan kesibukan.

Tidak lama aku disana, hanya sekitar 4 hari namun cukup membuat perasaan ini tergelitik untuk kembali..... kembali menuntut ilmu di sana. Belajar dengan tenang di tempat favoritku: "Monash Library." Sayang aku tidak sempat mengunjunginya karena padetnya jadwal yg telah diatur. Aku berdo'a dalam hati Insyaallah ..... aku akan kembali, semoga Allah melancarkan segala urusan. Amin.......

Rabu, 15 September 2010

Saat idealisme terkebiri

Hidup ini memang penuh tantangan ....baik yg nyata maupun yg abstrak. Secara fakta seorang anak manusia adalah individu yg bebas untuk menentukan hidupnya dan apa yg dimilikinya, baik secara kualitas maupun kuantitas. Namun... hidup ini tidak sesederhana itu krn banyak hal yang membatasi gerak dan langkah seorang anak manusia. Secara naluri pribadi maupun profesional, tidak salah jika setiap individu selalu ingin mengembangkan diri baik kepribadiaan maupun profesionalisme. kembali lagi...hal itu tidak mudah. untuk melakukan hal baikpun sangat sulit. 

Sedih rasanya kalau melihat di sekeliling kita, orang-orang sdh mapan dg suatu sistem yg dianggapnya 'benar' sehingga tidak ada rasa sungkan ataupun takut utk melakukan hal-hal yg secara jelas menentang aturan baik hukum dunia maupun hukum agama. Ngeri rasanya....bila memperhatikan kelakuan mereka yg telah mati rasa. Seringkali hati berteriak lantang untuk menyuarakan protes, tapi...rasanya sia-sia krn bagaikan jeritan di tengah lautan yg hilang ditelan deburan ombak dan terseret kencangnya angin. seringkali hati bertanya-tanya: Do I belong to this community?

Sebagus apapun ide, kreatifitas dan semangat untuk kemajuan anak bangsa, selalu mentok dg alasan tidak searah dg kebijakan.
Banyak yang dikorbankan hanya utk menjilat, semua kebijakan dibuat bukan untuk kebaikan masa depan anak bangsa tetapi...asal bapak senang. Ach....sungguh mereka itu tidak takut mati, tidak takut dengan hukuman Tuhan. Ya Allah....lelah rasanya melihat kondisi ini, sangat menyedihkan. Situasi ini membuat kami serba salah di lingkungan pekerjaan; diabaikan tanggung jawab, diikuti bertentangan dengan hati nurani. Sungguh suatu dilema.

Rabu, 05 Mei 2010

Ada yang tidak lulus??? So what?

Indonesia, khususnya Kaltim, lagi heboh dengan banyaknya siswa yg tidak lulus dalam UN 2010. Para komentator bermunculan dimana-mana baik media cetak maun elektronik dengan judul "Pendidikan Berduka" yang ujung2nya menyalahkan sekolah khususnya guru. Padahal klo kita berpikir secara cerdas, tidak perlu kita saling menyalahkan karena semuanya punya konstribusi besar dalam, kalau bisa dikatakan, kegagalan ini.

Ach...memang bangsa kita ini tidak pernah mau bercermin untuk introspeksi diri, seperti kata orang bijak: pada saat kita menuding kepada orang lain, kita harus sadar bahwa hanya satu jari yg terarah kesana. Lalu... kemana sisanya? mengarah kepada diri si penuding itu sendiri. 

Cobalah kita mempelajari kembali bagaimana sistem  pelaksanaan UN selalu mengalami perubahan setiap tahunnya, sehingga perhatian dan waktu kita lebih terfokus pada teknis pelaksanaan. Guru juga harus introspeksi tentang pengajarannya selama ini: sudahkah saya memilih materi yg benar? atau hanya sekedar menjadi kroni penerbit buku yg harganya sangat mencekik leher; sudahkan saya mengajar dengan benar sehingga memfasilitasi siswa saya untuk benar2 belajar? atau hanya sekedar menyuruh siswa mengerjakan LKS tanpa kejelasan arah dan tujuannya; sudahkah sekolah memiliki manajemen dan kontrol mutu yang benar sehingga semua unsur di sekolah melaksanakan perannya masing2?; sudahkah orang tua memberikn perhatian yang optimal terhadap proses belajar anak di rumah?; dan sudahkah anak memanfaatkan waktu belajar dan sumber belajar yang diberikan dan disediakan oleh sekolah?; dan banyak sudahkah....sudahkah.... yang lain yang dapat kita jadikan bahan untuk perbaikan dimasa yang akan datang.


Yang jelas..... kita tidak dapat menuding siswa-siswi kita yang tidak lulus bahwa mereka gagal. Satu kemungkinan dapat terjadi yang tidak kita perhatikan: Mungkin saja mereka ini malah yang jujur pada saat mengerjakan soal ...... sangat mungkin, sehingga mereka tidak dapat bantuan untuk menjawab soal. Dan diantara mereka yang lulus berarti ada yang tidak jujur karena berlaku curang dengan berbagai cara untuk mendapatkan jawaban. Sebenarnya kalau kita mau jujur, yang mana diantara kelompok siswa ini yang berbahaya bagi negara dan bangsa Indonesia ini di masa yang akan datang?

Semua sudah terjadi dan itulah bagian dari proses kehidupan yang harus kita jalani, dan mengapa kita harus memperdebatkan hal-hal yang sifatnya malah memperburuk suasana. Kita semua dapat mengambil hikmahnya untuk perbaikan di masa yang akan datang. Kita harus belajar dari pengalaman ini dan bekerja secara optimal agar kita dapat menuai buah yang manis di masa yang akan datang. Yang penting kuncinya adalah introspeksi diri dan ada niatan baik untuk lebih baik. Semoga bangsa ini bisa lebih bijak dalam menyikapi berbagai hal.....aminnnnnn.

Minggu, 21 Maret 2010


Murid-murid senior di SMA sedang menghadapi UN. Jauh-jauh hari sebelumnya, gaung UN sudah mulai terdengar bagaikan genderang perang yang ditabuh bertalu-talu membuat yang mendengar memberi respon yang beraneka; ada yang ketakutan, ada yang gelisah, ada yang bingung, dan tidak sedikit pula yang stres. Kadang saya bertanya di dalam hati, “apakah mengahadapi UN itu berarti perang sehingga membuat panik? Apakah UN itu sebegitu mengerikan?Ataukah suara genderang itu sendiri yang menciptakan rasa ngeri yang berlebihan?”

Stres tidak hanya dialami oleh siswa-siswi kelas XII tetapi orang tua, guru, kepala sekolah, diknas semuanya tegang. Mereka seperti menunggu saat-saat penentuan antara hidup atau mati. Banyak orang tua yang sakit lambungnya kumat, hipertensi, sariawan, dan sebagainya karena mengalami ketegangan yang sangat berlebihan. Hal ini membuat aku berfikir dalam hati, mengapa situasi tidak nyaman ini terjadi sedangkan semua itu adalah proses biasa dimana anak masuk sekolah - belajar – ulangan – naik kelas – belajar – ujian. Tetapi kita manusia ini memang seringkali mempersulit yang mudah sehingga menjadi rumit, membesar-besarkan hal kecil sehingga menjadi heboh. Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa UN adalah hal kecil karena aku sadar bahwa banyak energi pikiran dan tenaga yang dikeluarkan untuk UN ini, besar (lebih tepat lagi luar biasa besar) dana yang dikeluarkan untuk pelaksanaan UN ini. Namun disadari atau tidak, gaung UN itu telah berkonstribusi terhadap ketegangan yang terjadi. Anak menjadi korban karena mendapat desakan dari mana-mana, sekolah, orang tua, target universitas idaman, teman, lingkungan, dsb. Mengapa gaung itu tidak terdengar untuk proses belajar anak? Sudahkah proses belajarnya benar? Sudahkah guru mengajar dengan benar? Sudahkah orang tua memberikan perhatian yang optimal terhadap proses belajar anak saat di rumah? Sudahkah lingkungan menciptakan suasana yang kondusif untuk anak bisa belajar dengan tenang dan nyaman? Mengapa kita jadikan anak-anak sebagai pemuas obsesi? Kalau prosesnya benar, mengapa kita harus takut akan ujian?

IPA adalah jurusan yang diagung-agungkan karena prestasi pada mata pelajaran IPA dan Matematika merupakan indikator kecerdasan seorang anak. Banyak orang tua yang protes karena anaknya tidak masuk jurusan IPA dan menganggap bahwa IPS adalah jurusan bagi anak-anak yang tidak cerdas. Dari manakah sumber teori itu? Mungkin betul kata orang bijak bahwa banyak manusia yang dapat melihat tetapi mereka buta. Sudah jelas nilai anak tidak menunjukkan bahwa ia mampu di IPA tetapi tetap dipaksa masuk IPA karena ingin menjadi seorang dokter atau alasan klise lainnya. Mengapa harus memaksa diri? Kalau kita lihat apa yang terjadi di luar sana, banyak anak-anak yang lulus dari jurusan IPA kuliah di jurusan non IPA bahkan banyak mereka yang lulus dari jurusan IPA atau exact malah bekerja di bidang non IPA yang tidak ada hubungan sama sekali dengan jurusan kesarjanaannya. Mengapa kita tidak pernah belajar dari pengalaman - pengalaman nyata itu dan mengapa kita harus membutakan mata kita hanya untuk suatu obsesi dan gengsi.

Ach….tapi itulah yang terjadi, mau bagaimana lagi. Aku hanya seorang guru yang merupakan satu bagian dari mata rantai itu, bagian yang paling mudah dipersalahkan atas ketidakberhasilan seorang anak didik dan yang tidak pernah dikait-kaitkan dengan keberhasilan seorang anak. Padahal kalau kita ingin jujur, kita semua tau bahwa gagalnya seorang anak itu adalah akibat dari kegagalan banyak pihak; bisa guru, orang tua, sekolah, lingkungan, sistem, dan banyak faktor-faktor lain yang baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan konstribusinya.

Anyway… Selamat berjuang anak-anakku. Lakukanlah yang terbaik untuk masa depanmu dan masa depan bangsa ini karena kalian adalah tumpuan harapan kami di masa yang akan datang.