Rabu, 09 Desember 2009

Dialog Hati

Setiap orang di dunia ini memiliki tanggug jawab masing-masing, terlepas dari besar dan kecilnya tanggung jawab itu sendiri. Permasalahannya adalah seberapa besar rasa tanggung jawab kita terhadap kewajiban yang kita emban. Mana yang lebih banyak kita lakukan: menuntut hak atau melaksanakan kewajiban? Sebagai seorang guru saya juga manusia yang butuh uang. Saya berjuang untuk mendapatkan sertifikasi, dan itu saya dapatkan. Alhamdulillah! Seharusnya saya merasa puas dan sangat wajar kalau saya merasa puas, tetapi ada hal yang saya rasakan sebagai beban. Hak sudah saya dapatkan lalu bagaimana dengan kewajiban saya? Apakah saya sudah melaksanakan kewajiban itu dengan baik? Sudahkah saya berusaha untuk lebih baik dari sebelum saya mendapat sertifikasi? Apakah saya sudah berjuang keras untuk melaksanakan kewajiban saya sebagaimana kerasnya saya berjuang untuk mendapatkan sertifikasi itu? Pertanyaan-pertanyaan itu datang silih berganti di benak saya.
Sering kali saya mendengar orang berteriak membahas korupsi, saling menuding siapa yang korupsi. Memang gampang untuk melihat kesalahan orang lain tetapi tidaklah mudah melihat kesalahan diri sendiri. Sebagai seorang guru saya sadar banyak celah yang bisa membuat saya menjadi seorang yang korup, memang tidak dalam bentuk uang milyaran atau trilyunan. Pada saat kita mengajarkan anak suatu pelajaran yang memang sudah ditentukan dalam kurikulum berarti itu adalah hak anak untuk mendapat ilmu.
( Sempat terjadi dialog yang panjang di dalam batin saya) Saya bertanya,” bagaimana kalau saya bermalas-malasan dan mengajar asal-asalan?”
Sebuah suara menjawab,”Itu adalah korupsi ilmu karena yang seharusnya menjadi hak anak untuk mendapatkan ilmu, ilmu itu tidak engkau berikan.
Kemudian suara itu menambahkan,”Engkau dibayar untuk mengerjakan tugasmu maka apabila engkau lalai dengan sengaja tidak mengerjakan itu, maka bayaran itupun bukan hakmu.
“Lalu bagaimana kalau saya tetap mengambil bayaran itu?” Pertanyaan tidak mau kalah itu keluar begitu saja.
Dengan tegas suara itu mengatakan,”berarti engkau memakan yang bukan HAKmu”.
Saya serasa terhenyak karena bumerang yang saya lemparkan kembali ke arah saya. Kemudian saya berpikir... “Bukankah itu termasuk korupsi?”
Seolah membaca pikiran saya suara itu balik bertanya,”Apakah engkau membutuhkan jawaban? Bukankah engkau tau jawabannya?”
Ya Rob..... mengapa aku buta padahal aku memiliki mata? Mengapa aku tuli sedangkan aku memiliki telinga? Mengapa aku bisu untuk menyampaikan kebenaran sedangkan aku punya mulut untuk melakukannya? Sudah terlalu banyakkah dosa yang telah kulakukan sehingga aku mati rasa?
Tiba-tiba suara itu datang lagi dan mengatakan, “Pandanglah masa depan karena itu adalah harapan dan ingatlah masa lalu karena itu adalah pelajaran agar kamu lebih baik di masa yang akan datang.” Kemudian suara itu menambahkan, “Bila engkau melaksanakan tugas, yang menilaimu hanya dua: Tuhanmu dan anak didikmu karena anak-anak itulah yang melihat, mendengar, merasakan, mengalami, dan menikmati hasil pembelajaran yang engkau berikan, bukan orang lain.”

Rabu, 02 Desember 2009

Autumn in Japan


Mendapat kesempatan untuk mengunjungi negara Jepang adalah kesempatan yang sangat berharga dan meninggalkan kesan yang sangat dalam bagi saya pribadi dan empat belas orang teman lainnya dari beberapa provinsi di Indonesia.

Kunjungan studi kajian wisata selama kurang lebih 13 hari (4-16 Nopember 2009) tersebut adalah reward dari Depdiknas bagi para gupres pilihan tahun 2007 dan 2008, jenjang SMP dan SMA.
Tidak ada ungkapan lain yang dapat kami katakan pada saat di sana ditengah dinginnya musim gugur, selain rasa syukur dan decak kagum akan negara matahari terbit tersebut yang sanggup mengawinkan antara modernisasi teknologi, tradisi budaya leluhur, dan budaya ramah lingkungan.

Terlepas dari canggihnya fasilitas yang tersedia, saya ingin menggarisbawahi tentang ‘Budaya Malu’ yang tertanam pada pribadi masyarakat Jepang. Mereka selalu berusaha keras untuk melakukan yang terbaik, mereka malu apabila hanya duduk kongkow-kongkow karena pasti dicap pengangguran, malu apabila membuang sampah sembarangan, malu apabila lingkungannya kotor, malu apabila terlambat, malu apabila terlalu banyak bicara tetapi tidak berbuat apa-apa, serta banyak ‘malu’ lainnya yang menjurus ke arah yang positif. Budaya ini yang saya yakini sebagai hal yang mendasari keberhasilan Jepang karena dapat memicu semangat kerja keras pada masing-masing individu.

Semua yang saya alami membuat saya berangan-angan…. kapan ya warga Indonesia memiliki budaya malu? Malu kalau malas, malu kalau lingkungannya kotor, malu kalau keluyuran pada saat jam kerja, malu kalau membuang sampah sembarangan, malu kalau meributkan hak tetapi tidak melaksanakan kewajiban, malu kalau melanggar tata tertib, malu kalau curang, dan banyak lagi hal-hal yang harus nya kita malu untuk melakukannya. Sehingga tercipta suatu suasana yang nyaman karena lingkungannya bersih dan sehat; suasana berlalulintas yang aman karena semua masyarakat mamatuhi tata tertib dan aparat tegas dan berwibawa dalam menegakkan tata tertib; suasana kerja yang kompetitif dengan persaingan yang sehat; dan rasa aman karena merasa diayomi oleh para pemimpin yang amanah dan selalu berpihak pada kepentingan rakyat.

Walaupun ini sekedar angan-angan dan harapan tapi saya yakin bahwa suatu saat, cepat atau lambat, insyaallah harapan ini akan menjadi kenyataan ~amin~ . Saya pribadi merasa optimis karena belajar dari perjalanan hidup yang telah saya lalui dimana saya mengalami banyak ‘miracles,’ yang dulu pada saat masih sekolah, jangankan berharap, mimpipun saya tidak berani. Tetapi Allah s.w.t. sungguh maha segalanya bahwa apapun yang tidak mungkin di dunia ini akan menjadi mungkin asal kita selalu berusaha secara optimal dan tanpa pamrih.

(~ Nur ~ Nopember 2009)